Rabu, 12 September 2018

BLOK ROKAN: Modal Besar Riau untuk Menguasai Asia Tenggara

Tulisan ini dibuat untuk melengkapi tulisan senior saya Bang Miftah N Sabri di Harian Kompas 7 Agustus 2018. Tulisan tersebut lebih menekankan pada peningkatan dana bagi hasil bagi daerah. Saya sangat sepakat dengan idenya, namun ada kekhawatiran pada tarik menarik kepentingan yang akan menghambat pembuatan kebijakan tersebut. Tulisan ini mencoba untuk memberikan alternatif lain jika ide peningkatan dana bagi hasil mengalami kebuntuan.
Blok Rokan menghasilkan minyak 256.000 barel/hari, hampir sepertiga dari total produksi minyak nasional saat ini. Blok tersebut berada dalam area seluas 6.264 km2, terdiri dari beberapa ladang minyak, yaitu Minas (Kab. Siak); Duri dan Sebanga (Kab. Bengkalis); Bangko, Balam, dan Benggala (Kab. Rokan Hilir); Petani dan Pematang (Kab. Rokan Hulu); dan beberapa ladang minyak di Kab. Kampar. Dari sejumlah ladang tersebut, Minas dan Duri memiliki kandungan minyak yang terbesar di Asia Tenggara. Ladang minyak Minas mulai diteliti pada tahun 1924, pada masa Kesultanan Siak Sri Indrapura, oleh Ahli Geologi Standard Oil Company, Richard N. Nelson. Pengeboran pertama dilakukan oleh Richard H. Hopper. Di kemudian hari, Standard Oil Company berevolusi menjadi Caltex Pacific Indonesia lalu menjadi Chevron Pacific Indonesia hingga saat ini.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 disambut dengan euforia yang luar biasa di wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sultan Syarif Kasim II (dibaca Sultan Syarif Kasim Tsani) mengirimkan kawat kepada Presiden Soekarno tanggal 28 November 1945, yang menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura berdiri teguh bersama Republik Indonesia. Kawat tersebut dikirimkan bersama dengan kesediaan sultan menyumbangkan uang sebesar 13 juta gulden untuk modal awal kegiatan pemerintahan. Tak hanya itu, Sultan Syarif Kasim II juga menyerahkan mahkota Kerajaan Siak kepada Soekarno di Istana Negara pada 1945. Penyerahan mahkota ini menandai simbol bergabungnya Kesultanan Siak dan 12 wilayah kekuasaannya. Dengan demikian, seluruh wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura termasuk Blok Rokan resmi menjadi wilayah Republik Indonesia.
Jasa besar Sultan Syarif Kasim II dibalas dengan air tuba. Riau sebagai representasi wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura digabungkan ke dalam provinsi Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi. Baru pada Tanggal 9 Agustus 1957 Riau menjadi propinsi tersendiri, itu pun masih menyisakan keprihatinan karena Siak Sri Indrapura sebagai bekas ibukota kerajaan hanya dijadikan kecamatan. Hal ini berbanding lurus dengan dana bagi hasil minyak yang diterima oleh pemerintah daerah. Produksi minyak Blok Rokan yang mulai diekspor tahun 1952, hanya dinikmati oleh Caltex sebagai operator dan pemerintah pusat sebagai pemilik tanpa ada imbal balik yang signifikan bagi Propinsi Riau sebagai daerah penghasil.
Pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru juga tidak membawa perubahan, Riau hanya menjadi sapi perahan bagi pemerintah pusat. Booming harga minyak tahun 1974-1980 dikonversi dengan pembangunan besar-besaran di Pulau Jawa terutama Jakarta. Menjadi ironi, karena pada masa itu, Riau yang memiliki 4 sungai besar hanya memiliki 2 jembatan (Jembatan Siak I sumbangan Caltex dan Jembatan Rantau Berangin) serta sangat sulit menemukan jalan yang beraspal di wilayah penghasil minyak ini. Belum lagi dengan minimnya pelabuhan dan pusat industri sebagai penggerak prekonomian. Hasilnya, Riau menjadi salah satu propinsi termiskin di Indonesia. Padahal di masa lalu, Riau (Kesultanan Siak) merupakan salah satu wilayah terkaya di Pulau Sumatera. Hasil-hasil bumi dari pedalaman didistribusikan melalui sungai-sungai besar ke arah Selat Malaka yang menjadi Pusat perdagangan dunia. Hal ini tidak mungkin dapat terjadi jika tidak didukung dengan infrastruktur yang baik.
Angin perubahan mulai berhembus pasca Reformasi 1998, ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 yang memberikan porsi otonomi lebih besar bagi daerah. Ini diikuti dengan penetapan dana bagi hasil (DBH) minyak bagi daerah yang naik dari 3% menjadi 15%. Sejak saat itu, pembangunan di wilayah Riau mulai bergeliat kembali. Ekonomi mulai tumbuh setara bahkan terkadang di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain dampak positif, pembangunan yang pesat di Riau juga memiliki dampak negatif. Derasnya aliran dana yang masuk menumbuhkan banyak orang kaya baru (OKB) pada tiap kelas, baik pejabat, pengusaha, maupun rakyat biasa. Mental OKB ini ditandai dengan keinginan hidup mewah dan bermegah-megahan akibat kejenuhan hidup miskin dan tertekan di masa lalu. Inilah yang menjadi salah satu sebab suburnya KKN di Propinsi Riau hingga saat ini. Pada saat para pejabat di Pulau Jawa sudah merasa puas dengan kepentingan pribadinya dan mulai memikirkan rakyat serta pembangunan di wilayahnya. Sedangkan di Riau, para pejabat banyak yang bermasalah dengan penegak hukum akibat masih sibuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tercatat sejak tahun 2003 sudah 25 pejabat yang dihukum terkait kasus KKN dengan rincian 3 Gubernur, 7 Bupati, dan 15 pejabat lainnya.
Pengelolaan Blok Rokan oleh Chevron yang akan diambil alih oleh Pertamina mulai tahun 2021 menjadi berita yang menyejukkan bagi Masyarakat Riau, sama seperti ketika mendapat kabar Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 73 tahun silam. Pertamina yang berstatus sebagai BUMN tentu lebih mudah diajak berunding dibandingkan dengan operator sebelumnya. Masyarakat Riau tentu menginginkan imbal balik yang lebih baik dari pada yang didapat saat ini. Namun, terbersit kekhawatiran tentang buntunya perundingan tersebut karena kepentingan politik baik di tingkat pusat maupun daerah.
Meningkatkan DBH yang pada saat ini sebesar 15% tentu akan menimbulkan hiruk pikuk politik yang sangat luar biasa. Peningkatan ini tentunya akan berpengaruh pada struktur APBN yang dapat merubah target RPJP dan RPJM yang sudah ada. Dapat dibayangkan, akan terjadi penentangan yang luar biasa dari pihak-pihak yang akan dirugikan dengan kebijakan ini. Di sisi lain, tingginya angka KKN di daerah juga mengancam macetnya penyaluran DBH ke masyarakat bawah. Meningkatnya DBH minyak belum tentu dapat dinikmati oleh masayarakat miskin, karena bisa jadi hanya dinikmati oleh sekelompok elit di daerah. Membuat BUMD sebagai partner Pertamina dalam pengelolaan Blok Rokan juga bukan solusi terbaik. Hal ini berkaca dari pengalaman pengeloaan Blok Coastal Plain and Pekanbaru (CPP) yang sebelumnya dikelola oleh Chevron kemudian di ambil alih oleh Pertamina berkerja sama dengan BUMD Bumi Siak Pusako. Pada saat terakhir dikelola Chevron tahun 2002, produksi minyak mencapai 40.000 barel/hari, namun saat ini dibawah pengelolaan Pertamina Hulu - Bumi Siak Pusako, produksi minyak hanya 11.300 barel per hari. Angka-angka ini cukup untuk menandakan adanya inkompetensi SDM berpadu dengan konflik kepentingan yang melibatkan stakeholders.
Sejak masa lalu Riau terkenal dengan alamnya yang kaya raya, dengan geografis yang sangat menguntungkan. Hasil bumi berupa hutan alam yang sekarang berubah menjadi lahan kelapa sawit terbesar di Indonesia serta di dalam buminya terkandung minyak, gas, batu bara dan emas. Empat sungai besar beserta ratusan anak sungainya membelah wilayah riau menjadi infrastruktur alami yang digunakan untuk mendistribusikan hasil bumi di pedalaman menuju ke pesisir pantai. Selanjutnya, kawasan pesisir pantai yang langsung menghadap ke Selat Malaka menjadi etalase alami untuk menjajakan hasil bumi di jalur perdagangan tersibuk di dunia tersebut.
Singapura yang tidak memiliki SDA dan hanya memiliki garis pantai sepanjang 193 Km menjelma menjadi raksasa ekonomi di wilayah Asia Tenggara. Sungguh ironis dengan Propinsi Riau dengan SDA melimpah dan garis pantai sepanjang 2.076 Km masih berkutat dengan angka kemiskinan. Penguasaan Blok Rokan oleh Pertamina merupakan momentum untuk menata ulang perekonomian Riau guna memaksimalkan potensi yang dimilikinya.
Minyak yang dihasilkan dari Blok Rokan sudah semestinya diolah untuk memenuhi kebutuhan BBM yang ada di wilayah Riau terlebih dahulu, kemudian kelebihannya baru didistribusikan ke daerah lain. Ini merupakan solusi yang paling tepat untuk mengatasi kelangkaan BBM di negeri penghasil minyak ini dalam beberapa tahun belakangan. Pada saat sekarang, kapasitas kilang minyak Dumai hanya 120.000 barel/hari, belum mampu menampung hasil produksi dari Blok Rokan apalagi menampung seluruh produksi dari seluruh Blok yang ada di Propinsi Riau. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas kilang baik dengan mengoptimalkan yang sudah ada atau membangun kilang baru mutlak diperlukan.
Pemerintah pusat juga harus meletakkan industri-industri turunan migas di wilayah Riau agar mampu membuat percepatan pertumbuhan ekonomi di wilayah ini. Secara hitungan ekonomi sangat strategis, karena industri tersebut semakin dekat dengan sumber energi, dan juga dekat dengan jalur perdagangan dunia (Selat Malaka). Saat ini di Riau ada dua pelabuhan besar yang lengkap dengan Kawasan Industrinya yaitu Dumai dan Tanjung Buton (Kab. Siak). Namun, yang baru berfungsi maksimal hanya Dumai, sedangkan Tanjung Buton masih sepi dari aktifitas industri dan bongkar muat barang, padahal kawasan ini memiliki pelabuhan berstandar internasional, kawasan pergudangan dan infrastruktur yang siap pakai. Ini hanya menunggu good will dari pemerintah pusat melalui serangkaian kebijakan yang dapat mendorong perusahaan terkait dengan migas untuk meramaikan kawasan tersebut. Selain itu, wilayah pesisir pantai Rokan Hilir, sesuai dengan karakteristiknya dapat dikembangkan sebagai sentra perikanan dan hasil laut lengkap dengan industri pendukung. Di masa lalu wilayah ini termasuk penghasil ikan terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara.
Meningkatkan DBH bisa jadi bermanfaat tapi belum tentu dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Riau secara keseluruhan. Mengembangkan Wilayah Riau sesuai dengan karakteristik dan potensinya dapat membuka lapangan kerja baru, memberdayakan masyarakat setempat, dan mampu membuka pusat perekonomian baru yang berujung pada meningkatnya daya saing perekonomian Indonesia. Ini jauh lebih efisien dari pada memaksakan Pulau Jawa yang berkarakteristik sebagai lumbung pangan menjadi pusat industri nasional.
Jika langkah-langkah tersebut mampu dijalankan oleh dengan baik, maka bersiaplah menyaksikan gemerlapnya kebangkitan ekonomi di Pantai Timur Sumatera. Bukan tidak mungkin kita akan mampu menyaingi Singapura sehingga mencapai salah satu Visi Propinsi Riau, yakni “Menjadi pusat perekonomian di wilayah Asia Tenggara”.
Selamat Hari Jadi Propinsi Riau yang ke-61 (9 Agustus 1957 - 9 Agustus 2018).

Tidak ada komentar: