Jumat, 09 Maret 2012

KEADILAN DALAM TANGGUNG JAWAB LINGKUNGAN


Isu illegal loging dan pengrusakan lingkungan kembali marak untuk diperbincangkan karena tema tersebut muncul kembali dalam beberapa waktu belakangan. Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan oleh laporan LSM internasional, Green Peace yang menyatakan sebagian bahan baku kertas PT Indah Kiat Pulp & Paper menggunakan kayu ramin, yaitu kayu alam yang dilindungi secara internasional. Ini adalah kasus yang kesekian kalinya organisasi/negara asing menggunakan isu lingkungan untuk menyorot produk-produk Indonesia. Bulan lalu juga diberitakan, Amerika Serikat memperingatkan perusahaan CPO Indonesia karena isu lingkungan.

Berbicara mengenai illegal loging, kerusakan hutan dan lingkungan akan membawa kita kepada suatu isu yang sedang mendunia yaitu pemanasan global (global warming). Pemanasan global terjadi karena meningkatanya jumlah gas rumah kaca yang dihasilkan oleh polusi (kendaraan bermotor dan industri) serta kerusakan alam akibat eksploitasi yang berlebihan. Fakta yang ada, Amerika Serikat menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 25% dari yang dihasilkan dunia. Selanjutnya negara-negara Eropa juga masuk peringkat atas penghasil gas rumah kaca. Khusus Amerika Serikat, sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, selalu menolak menandatangani protokol Kyoto yang pada intinya mewajibkan setiap negara mengurangi emisinya.

Melihat fakta yang ada, sangat menggelikan dengan tindakan Green Peace maupun Amerika Serikat yang selalu menyalahkan Indonesia atas kerusakan lingkungan, padahal negara mereka adalah perusak lingkungan terbesar di dunia. Green Peace sebagai organisasi yang berpusat di Belanda lebih sibuk mengurusi kerusakan hutan di negara berkembang daripada menekan negara-negara Eropa (maju) untuk mengurangi emisinya. Lebih menggelikan lagi, Green Peace sangat jarang membicarakan pengrusakan lingkungan yang dilakukakan negara perusak lingkungan terbesar seperti Amerika Serikat. Mereka lebih sering menyorot Indonesia yang memiliki peran kurang dari 1% terhadap pemanasan global. Tentunya ini menimbulkan keraguan, apakah benar mereka sedang berusaha menyelamatkan lingkungan atau sedang melakukan strategi dagang untuk menjegal negara-negara berkembang?.

Pada saat ini, Amerika Serikat belum pulih dari krisis ekonomi dan Eropa juga sedang berjuang melepaskan diri dari krisis. Ditengah keadaan sulit tersebut, perekonomian negara-negara Asia tetap tumbuh positif. Sudah jadi rahasia umum, negara-negara barat sangat khawatir terhadap kemajuan ekonomi/industri yang dicapai negara-negara Asia. Sejarah juga mencatat trik-trik kotor yang pernah dilakukan barat untuk mengerem kemajuan industri negara-negara timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina, mulai dari isu HAM, dumping, dan lingkungan. Negara-negara barat mengangkat isu tersebut seolah-olah mereka suci dari pelanggaran HAM, kebijakan dumping, maupun pengrusakan lingkungan baik di masa lalu maupun sekarang.

Kita juga tidak setuju terhadap pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, tapi kita lebih tidak setuju lagi jika tanggung jawab penyelamatan lingkungan dunia dibebankan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Bagaimana mungkin perusahaan yang menggaji karyawannya hanya standar UMR, disuruh memikul beban yang sama dengan perusahaan-perusahaan di barat yang menggaji karyawannya ribuan dolar. Sungguh sebuah ketidakadilan dan pelanggaran HAM berat jika kita menekan perusahaan seperti Indah Kiat memikul tanggung jawab meyelamatkan lingkungan dunia, karena pihak yang akan merasakan beban terbesar adalah buruh-buruh yang berada di level bawah. Merekalah golongan pertama yang akan dikorbankan jika perusahaan mengalami penurunan pendapatan.

Penyelamatan lingkungan merupakan tanggung jawab semua manusia yang hidup di muka bumi ini. Salah satu masalah terbesar adalah penyelamatan lingkungan berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi/industri. Pihak yang melakukan kebijakan penyelamatan lingkungan harus berhadapan dengan konsekuensi menurunnya pendapatan mereka. Inilah yang selalu menjadi keengganan berbagai pihak, baik negara maupun industri untuk memulai aksi menyelamatkan lingkungan. Oleh karena itu, nilai-nilai keadilan adalah sesuatu yang mutlak digunakan untuk menentukan seberapa besar tanggung jawab yang diemban oleh masing-masing pihak. Keadilan Komutatif (sama besar) tidak bisa digunakan dalam membagi tanggung jawab tersebut. Keadilan Distributif (sesuai dengan porsinya) adalah jawaban yang tepat untuk masalah ini karena keadilan tersebutlah yang menjamin setiap pihak berperan menyelamatkan lingkungan sesuai dengan “dosa-dosa” yang telah dibuatnya.