Rabu, 12 September 2018

BLOK ROKAN: Modal Besar Riau untuk Menguasai Asia Tenggara

Tulisan ini dibuat untuk melengkapi tulisan senior saya Bang Miftah N Sabri di Harian Kompas 7 Agustus 2018. Tulisan tersebut lebih menekankan pada peningkatan dana bagi hasil bagi daerah. Saya sangat sepakat dengan idenya, namun ada kekhawatiran pada tarik menarik kepentingan yang akan menghambat pembuatan kebijakan tersebut. Tulisan ini mencoba untuk memberikan alternatif lain jika ide peningkatan dana bagi hasil mengalami kebuntuan.
Blok Rokan menghasilkan minyak 256.000 barel/hari, hampir sepertiga dari total produksi minyak nasional saat ini. Blok tersebut berada dalam area seluas 6.264 km2, terdiri dari beberapa ladang minyak, yaitu Minas (Kab. Siak); Duri dan Sebanga (Kab. Bengkalis); Bangko, Balam, dan Benggala (Kab. Rokan Hilir); Petani dan Pematang (Kab. Rokan Hulu); dan beberapa ladang minyak di Kab. Kampar. Dari sejumlah ladang tersebut, Minas dan Duri memiliki kandungan minyak yang terbesar di Asia Tenggara. Ladang minyak Minas mulai diteliti pada tahun 1924, pada masa Kesultanan Siak Sri Indrapura, oleh Ahli Geologi Standard Oil Company, Richard N. Nelson. Pengeboran pertama dilakukan oleh Richard H. Hopper. Di kemudian hari, Standard Oil Company berevolusi menjadi Caltex Pacific Indonesia lalu menjadi Chevron Pacific Indonesia hingga saat ini.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 disambut dengan euforia yang luar biasa di wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sultan Syarif Kasim II (dibaca Sultan Syarif Kasim Tsani) mengirimkan kawat kepada Presiden Soekarno tanggal 28 November 1945, yang menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura berdiri teguh bersama Republik Indonesia. Kawat tersebut dikirimkan bersama dengan kesediaan sultan menyumbangkan uang sebesar 13 juta gulden untuk modal awal kegiatan pemerintahan. Tak hanya itu, Sultan Syarif Kasim II juga menyerahkan mahkota Kerajaan Siak kepada Soekarno di Istana Negara pada 1945. Penyerahan mahkota ini menandai simbol bergabungnya Kesultanan Siak dan 12 wilayah kekuasaannya. Dengan demikian, seluruh wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura termasuk Blok Rokan resmi menjadi wilayah Republik Indonesia.
Jasa besar Sultan Syarif Kasim II dibalas dengan air tuba. Riau sebagai representasi wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura digabungkan ke dalam provinsi Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi. Baru pada Tanggal 9 Agustus 1957 Riau menjadi propinsi tersendiri, itu pun masih menyisakan keprihatinan karena Siak Sri Indrapura sebagai bekas ibukota kerajaan hanya dijadikan kecamatan. Hal ini berbanding lurus dengan dana bagi hasil minyak yang diterima oleh pemerintah daerah. Produksi minyak Blok Rokan yang mulai diekspor tahun 1952, hanya dinikmati oleh Caltex sebagai operator dan pemerintah pusat sebagai pemilik tanpa ada imbal balik yang signifikan bagi Propinsi Riau sebagai daerah penghasil.
Pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru juga tidak membawa perubahan, Riau hanya menjadi sapi perahan bagi pemerintah pusat. Booming harga minyak tahun 1974-1980 dikonversi dengan pembangunan besar-besaran di Pulau Jawa terutama Jakarta. Menjadi ironi, karena pada masa itu, Riau yang memiliki 4 sungai besar hanya memiliki 2 jembatan (Jembatan Siak I sumbangan Caltex dan Jembatan Rantau Berangin) serta sangat sulit menemukan jalan yang beraspal di wilayah penghasil minyak ini. Belum lagi dengan minimnya pelabuhan dan pusat industri sebagai penggerak prekonomian. Hasilnya, Riau menjadi salah satu propinsi termiskin di Indonesia. Padahal di masa lalu, Riau (Kesultanan Siak) merupakan salah satu wilayah terkaya di Pulau Sumatera. Hasil-hasil bumi dari pedalaman didistribusikan melalui sungai-sungai besar ke arah Selat Malaka yang menjadi Pusat perdagangan dunia. Hal ini tidak mungkin dapat terjadi jika tidak didukung dengan infrastruktur yang baik.
Angin perubahan mulai berhembus pasca Reformasi 1998, ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 yang memberikan porsi otonomi lebih besar bagi daerah. Ini diikuti dengan penetapan dana bagi hasil (DBH) minyak bagi daerah yang naik dari 3% menjadi 15%. Sejak saat itu, pembangunan di wilayah Riau mulai bergeliat kembali. Ekonomi mulai tumbuh setara bahkan terkadang di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain dampak positif, pembangunan yang pesat di Riau juga memiliki dampak negatif. Derasnya aliran dana yang masuk menumbuhkan banyak orang kaya baru (OKB) pada tiap kelas, baik pejabat, pengusaha, maupun rakyat biasa. Mental OKB ini ditandai dengan keinginan hidup mewah dan bermegah-megahan akibat kejenuhan hidup miskin dan tertekan di masa lalu. Inilah yang menjadi salah satu sebab suburnya KKN di Propinsi Riau hingga saat ini. Pada saat para pejabat di Pulau Jawa sudah merasa puas dengan kepentingan pribadinya dan mulai memikirkan rakyat serta pembangunan di wilayahnya. Sedangkan di Riau, para pejabat banyak yang bermasalah dengan penegak hukum akibat masih sibuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tercatat sejak tahun 2003 sudah 25 pejabat yang dihukum terkait kasus KKN dengan rincian 3 Gubernur, 7 Bupati, dan 15 pejabat lainnya.
Pengelolaan Blok Rokan oleh Chevron yang akan diambil alih oleh Pertamina mulai tahun 2021 menjadi berita yang menyejukkan bagi Masyarakat Riau, sama seperti ketika mendapat kabar Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 73 tahun silam. Pertamina yang berstatus sebagai BUMN tentu lebih mudah diajak berunding dibandingkan dengan operator sebelumnya. Masyarakat Riau tentu menginginkan imbal balik yang lebih baik dari pada yang didapat saat ini. Namun, terbersit kekhawatiran tentang buntunya perundingan tersebut karena kepentingan politik baik di tingkat pusat maupun daerah.
Meningkatkan DBH yang pada saat ini sebesar 15% tentu akan menimbulkan hiruk pikuk politik yang sangat luar biasa. Peningkatan ini tentunya akan berpengaruh pada struktur APBN yang dapat merubah target RPJP dan RPJM yang sudah ada. Dapat dibayangkan, akan terjadi penentangan yang luar biasa dari pihak-pihak yang akan dirugikan dengan kebijakan ini. Di sisi lain, tingginya angka KKN di daerah juga mengancam macetnya penyaluran DBH ke masyarakat bawah. Meningkatnya DBH minyak belum tentu dapat dinikmati oleh masayarakat miskin, karena bisa jadi hanya dinikmati oleh sekelompok elit di daerah. Membuat BUMD sebagai partner Pertamina dalam pengelolaan Blok Rokan juga bukan solusi terbaik. Hal ini berkaca dari pengalaman pengeloaan Blok Coastal Plain and Pekanbaru (CPP) yang sebelumnya dikelola oleh Chevron kemudian di ambil alih oleh Pertamina berkerja sama dengan BUMD Bumi Siak Pusako. Pada saat terakhir dikelola Chevron tahun 2002, produksi minyak mencapai 40.000 barel/hari, namun saat ini dibawah pengelolaan Pertamina Hulu - Bumi Siak Pusako, produksi minyak hanya 11.300 barel per hari. Angka-angka ini cukup untuk menandakan adanya inkompetensi SDM berpadu dengan konflik kepentingan yang melibatkan stakeholders.
Sejak masa lalu Riau terkenal dengan alamnya yang kaya raya, dengan geografis yang sangat menguntungkan. Hasil bumi berupa hutan alam yang sekarang berubah menjadi lahan kelapa sawit terbesar di Indonesia serta di dalam buminya terkandung minyak, gas, batu bara dan emas. Empat sungai besar beserta ratusan anak sungainya membelah wilayah riau menjadi infrastruktur alami yang digunakan untuk mendistribusikan hasil bumi di pedalaman menuju ke pesisir pantai. Selanjutnya, kawasan pesisir pantai yang langsung menghadap ke Selat Malaka menjadi etalase alami untuk menjajakan hasil bumi di jalur perdagangan tersibuk di dunia tersebut.
Singapura yang tidak memiliki SDA dan hanya memiliki garis pantai sepanjang 193 Km menjelma menjadi raksasa ekonomi di wilayah Asia Tenggara. Sungguh ironis dengan Propinsi Riau dengan SDA melimpah dan garis pantai sepanjang 2.076 Km masih berkutat dengan angka kemiskinan. Penguasaan Blok Rokan oleh Pertamina merupakan momentum untuk menata ulang perekonomian Riau guna memaksimalkan potensi yang dimilikinya.
Minyak yang dihasilkan dari Blok Rokan sudah semestinya diolah untuk memenuhi kebutuhan BBM yang ada di wilayah Riau terlebih dahulu, kemudian kelebihannya baru didistribusikan ke daerah lain. Ini merupakan solusi yang paling tepat untuk mengatasi kelangkaan BBM di negeri penghasil minyak ini dalam beberapa tahun belakangan. Pada saat sekarang, kapasitas kilang minyak Dumai hanya 120.000 barel/hari, belum mampu menampung hasil produksi dari Blok Rokan apalagi menampung seluruh produksi dari seluruh Blok yang ada di Propinsi Riau. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas kilang baik dengan mengoptimalkan yang sudah ada atau membangun kilang baru mutlak diperlukan.
Pemerintah pusat juga harus meletakkan industri-industri turunan migas di wilayah Riau agar mampu membuat percepatan pertumbuhan ekonomi di wilayah ini. Secara hitungan ekonomi sangat strategis, karena industri tersebut semakin dekat dengan sumber energi, dan juga dekat dengan jalur perdagangan dunia (Selat Malaka). Saat ini di Riau ada dua pelabuhan besar yang lengkap dengan Kawasan Industrinya yaitu Dumai dan Tanjung Buton (Kab. Siak). Namun, yang baru berfungsi maksimal hanya Dumai, sedangkan Tanjung Buton masih sepi dari aktifitas industri dan bongkar muat barang, padahal kawasan ini memiliki pelabuhan berstandar internasional, kawasan pergudangan dan infrastruktur yang siap pakai. Ini hanya menunggu good will dari pemerintah pusat melalui serangkaian kebijakan yang dapat mendorong perusahaan terkait dengan migas untuk meramaikan kawasan tersebut. Selain itu, wilayah pesisir pantai Rokan Hilir, sesuai dengan karakteristiknya dapat dikembangkan sebagai sentra perikanan dan hasil laut lengkap dengan industri pendukung. Di masa lalu wilayah ini termasuk penghasil ikan terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara.
Meningkatkan DBH bisa jadi bermanfaat tapi belum tentu dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Riau secara keseluruhan. Mengembangkan Wilayah Riau sesuai dengan karakteristik dan potensinya dapat membuka lapangan kerja baru, memberdayakan masyarakat setempat, dan mampu membuka pusat perekonomian baru yang berujung pada meningkatnya daya saing perekonomian Indonesia. Ini jauh lebih efisien dari pada memaksakan Pulau Jawa yang berkarakteristik sebagai lumbung pangan menjadi pusat industri nasional.
Jika langkah-langkah tersebut mampu dijalankan oleh dengan baik, maka bersiaplah menyaksikan gemerlapnya kebangkitan ekonomi di Pantai Timur Sumatera. Bukan tidak mungkin kita akan mampu menyaingi Singapura sehingga mencapai salah satu Visi Propinsi Riau, yakni “Menjadi pusat perekonomian di wilayah Asia Tenggara”.
Selamat Hari Jadi Propinsi Riau yang ke-61 (9 Agustus 1957 - 9 Agustus 2018).

Jumat, 27 September 2013

CERITA DARI ANKARA – KUALA LUMPUR – PERAWANG – JAKARTA

Dengan rasa malas yang luar biasa, terpaksa kubuka mata karena ada kilauan cahaya matahari yang menerobos melaui celah gorden. Otakku langsung berputar mengingat rencana hari ini. Teringatlah bahwa hari ini aku akan memulai perjalanan panjang menuju kampung halaman. Langsung kugapai telepon genggam, “ya Allah, sudah jam 10:12,”. Ada pesan dari Bang Faris, “jam berapa dari asrama? Abang belum kotakin buku rupanya”. Syukurlah ternyata dia juga belum siap, kujawab “terserahlah Bang”. Kemudian aku bergegas ke kamar mandi.
Sebelum kita terlalu jauh, ada baiknya kujelaskan alasan menulis tulisan ini. Akhir bulan Januari 2013 yang lalu, Andrea Hirata, seorang Budak Melayu Belitong bertandang ke Ankara. Aku berkesempatan menemaninya menjelajahi kota ini. Obrolan kami disela-sela perjalanan sampai pada satu kesimpulan bahwa penulis merupakan pekerjaan yang paling cocok untuk Budak Melayu. Orang Melayu terlahir sebagai pujangga yang hidup di dalam dunia sastra. Perkataan sehari-harinya sarat dengan produk sastra seperti pribahasa, majas, pantun, puisi, sajak dan lain-lain. Abakku (ayahku) sering berkata “macam Belando minta tanah, dibagi sejengkal minta sehasta”, ketika ia membicarakan orang rakus dan licik. Selain itu, Emakku pun tak kalah jika berpribahasa, “takut ke hantu terpeluk ke bangkai”, untuk menggambarkan pekerjaan yang sia-sia. Aku juga pernah mendengar orang kampungku berkata ke pada anakanya yang bermata kemerah-merahan karena baru bangun tidur, “mato diko macam mato udang”.
“Ayolah Boi, mulailah kau menulis, supaya ngetop pulak kau macam aku ni, kita ni dah punya bakat alam, apa lagi yang ditunggu?” kata Bang Andrea menyemangatiku. Kujawab secara diplomatis, “nanti ajalah bang, kalau semester ini dah selesai, sekarang banyak tugas”. Jawabanku itu ada benarnya karena aku sedang mengambil 4 mata kuliah dalam 1 semester. Untuk program master, itu sudah sangat berat, apalagi perkuliahannya dalam bahasa Turki. Teman-temanku yang orang Turki saja hanya sanggup mengambil 3 mata kuliah.
Keberanianku itu tidak terlepas dari banyaknya mata kuliah yang tidak lulus pada semester 1 dan 2. Akibatnya aku harus hijrah dari Ankara Üniversitesi ke Hacettepe Üniversitesi. Di kampus baruku itu, aku diberi hak istimewa untuk untuk mengerjakan tugas dan presentasi dalam Bahasa Inggris, sesuatu yang tidak aku dapatkan di kampus yang lama. Meskipun begitu, banyaknya mata kuliah membuat aku tidak bisa menjadi mahasiswa santai lagi. Jika tidak ada kelas, aku mengeram di perpustakaan untuk mengerjakan tugas mulai dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam, bahkan terkadang sampai jam 10 malam. Terasa berat dan melelahkan, tapi bisa membuatku tersenyum melihat daftar nilai di akhir semester, dari terancam drop out menjadi terancam cum laude. Maka terbuktilah firman Allah dalam surat An-Najm: 39-41 bahwa setiap orang akan mendapatkan hasil sesuai dengan usahanya.
Mari kita kembali ke alur cerita. Sekembalinya dari kamar mandi kulihat di telepon genggam ada 2 panggilan tak terjawab dan 2 pesan whatsap. Ternyata Bang Faris sudah siap dan berangkat dahulu ke terminal karena ditunggu temannya. Segera aku mempersiapkan diri dan barang-barang bawaan. Ternyata koperku sangat berat sehingga membuat napasku tersengal-sengal ketika memikulnya dari lantai tiga, mungkin beratnya sekitar 27 Kg. Sempat terbersit kekhawatiran, karena pesawat yang aku tumpangi hanya memberi jatah bagasi 20 Kg, tapi ya sudahlah.., untuk saat ini yang paling penting adalah membereskan urusan perizinan di tata usaha asrama. Setelah semua beres, setengah berlari aku menuju stasiun subway, yang disini bernama Ankaray.
Setelah 30 menit di dalam Ankaray akhirnya sampailah di AŞTİ, terminal bus antar kota di Ankara. Terminal tersebut sangat mewah jika dibandingkan dengan terminal bus di negara-negara berkembang. Terminal ini berdinding kaca transparan, memiliki 2 lantai, lantai 1 untuk kedatangan dan lantai 2 untuk keberangkatan. Suatu ketika aku pernah mengantar seorang teman yang orang Pakistan. Dia sempat bingung dan bertanya, “Is this bus station?” (Apakah ini terminal bus?). Kujawab dan balik bertanya “Yes, what do you think?” (Ya, menurut kamu?). “I think this is airport, these in my country like this” (Saya pikir ini bandara, di negara saya bandara seperti ini) jawabnya. Kucoba menghibur dia dengan mengatakan “I also think like you when I first came here” (Saya juga juga berpikir seperti kamu ketika pertama kali datang kesini).
“Bang Rusli!!”. Badanku berputar ke kiri mencari arah suara tersebut. Seorang lelaki kurus-kecil melambaikan tangannya ke arahku. Bang Faris sering memanggilku Bang Rusli, panggilan seorang mantan Gubernur Riau yang sedang menjadi tahanan KPK. Alasanya sederhana, katanya gayaku mirip dengan dia. Sudah berkali-kali aku protes keras tidak ingin disamakan dengan tersangka korupsi, tapi seperti kebiasaan orang di ambang jenius lainnya, makin dilarang makin menjadi.
Setelah membeli tiket kami duduk di ruang tunggu keberangkatan. Karena masih ada waktu, aku pergi berkeliling mencari bantal leher agar nyaman tidur duduk di perjalanan. Aku menemukannya disebuah kios di lantai 1. Melihatku datang sambil menjinjing bantal leher, Bang Faris mengejekku, “Apalah yang kau beli ni, manja betul pakai bantal”. Kujawab singkat, “awas kalau pinjam!!”.
Jarak Ankara-Istanbul sekitar 400 Km dengan jalan tol yang lurus membuat waktu tempuh hanya 7 jam. Bahkan, jika mau membayar lebih mahal untuk bus eksekutif, waktu perjalan bisa dipercepat karena semakin mahal tarif maka semakin sedikit bus tersebut singgah dalam perjalanan. 30 menit setelah berangkat, aku tidak bisa tidur karena sibuk menonton film dan mendengarkan musik pada layar kecil di depan kursi. Ya, di sini, bus-bus antar kota memiliki fasilitas hiburan setara dengan pesawat terbang jarak jauh. Sebuah layar kecil di depan kursi yang berisi rekaman berbagai jenis film, lagu, murattal Al-qur’an, dan aneka permainan membuat penumpang merasa jauh dari kata bosan sekaligus sulit untuk memejamkan mata.
Setelah 3 jam perjalanan, kami memasuki wilayah Bolu yang memiliki jalanan berbukit-bukit dengan jurang terhampar hijau serta berkabut seperti di Luxemburg. Semakin lengkaplah apa yang dimiliki Turki sebagai miniatur Eropa. Selain Bolu, banyak wilayah-wilayah lainnya yang memiliki pemandangan dan suasana seperti eropa. Jika kita ingin berjalan kaki dikelilingi gedung-gedung tua ala Paris, maka kawasan Taksim di Istanbul adalah tempatnya. Jika ingin melihat reruntuhan bangunan kuno ala Yunani, maka kawasan Efes di Izmir adalah jawabannya. Dan jika ingin menikmati suasana pantai Laut Mediterania seperti di Italia, maka Antalya merupakan tempat yang cocok. Disamping itu, Turki memiliki berbagai kemudahan dibandingkan Eropa, antara lain, bisa masuk menggunakn visa on arrival (VoA) bagi WNI, biaya hidup yang lebih murah, serta kemudahan dalam mencari makanan halal. Dengan alasan-alasan tersebut, aku membatalkan rencana keliling Eropa karena semuanya telah ada di Turki.

Mendekati Istanbul, jalanan mulai sesak dengan kendaraan persis seperti di Tol Jagorawi ketika mendekati Jakarta. Dalam kemacetan yang membosankan itu, Bang Faris berkata, “gimana rasa bantal leher kau tu Mal, sini abang cobain bentar”. Waktu terus berlalu, 5, 10, 15 hingga 20  menit kemudian, bantal itu tidak juga kembali kepdaku. Langsung saja kurampas dan berkata ketus, “tadi pas aku beli diejek, sekarang keenakan. Salah sendiri gak mau beli”. Ternyata Allah memang tidak menyukai orang sombong. Ketika turun di Terminal Esenler, Istanbul, aku lupa membawa bantal tersebut, dan orang yang sangat bahagia ketika itu adalah Bang Faris. Dia berkhotbah seperti orang kramat yang baru saja mengirimkan kutukannya.
Dari Esenler kami menggunakan subway menuju bandara. Namun, sebelum sampai bandara, kami singgah dulu di Stasiun Yenibosna. Di sana kami bertemu dengan pasangan suami istri, Bang Arhami dan Kak Anita. Sewaktu tinggal di Izmir dulu, aku dan teman-teman asrama lainnya sering diundang ke rumah mereka. Di sanalah kami dapat menikmati makanan Indonesia dan sejenak melupakan makanan Turki yang hambar serta rotinya yang keras.
Kami sampai di bandara 2 jam sebelum berangkat. Ketika chek in, seperti perkiraanku sebelumnya, koperku melebihi kuota. Mukaku berkerut melihat di layar timbangan tertulis angka 27 Kg, aku tak sanggup mengurangi hingga 7 Kg. Perempuan cantik penjaga counter menggeleng-gelengkan kepalanya. Terpaksa aku keluarkan kata-kata sakti, "Ben öğrenciyim. Bu tatilde ailem için çok hediye getiriyorum. Lütfen, bana yardım et!!" (Saya ini pelajar. Liburan ini, saya bawa banyak oleh-oleh untuk keluarga saya. Tolong bantu saya!!). Dia berpikir sebentar, kemudian mukanya yang mirip Katy Perry tersenyum cerah, “Tamam. 24 Kg olabilir” (Ok. boleh 24 Kg) katanya. Langsung kupindahkan 3 buah buku tebal dari dalam koper ke ranselku, lalu angka timbangan turun menjadi 24,47 Kg. Dia pun memberi kode setuju. Langsung aku ucapkan terima kasih sambil memberi senyuman termanis yang kupunya.
Setelah menunggu beberapa saat, kami pun masuk ke pesawat. Seketika berubahlah pemandangan, dari hindung mancung menjadi pesek, dari kulit putih ke sawo matang, dari raut muka kaku menjadi senyum bersahabat ala Pak Cik – Mak Cik tanah semenanjung. Pesawat pun berangsur-angsur meninggalkan Bandara Atatürk Istanbul. Beberapa saat kemudian para pramugari sibuk menyajikan makanan untuk penumpang. Tidak jelas makan untuk apa pada pukul 13.55 itu, apakah makan malam atau sarapan. “Do you want bread or rice?” (kamu mau roti atau nasi) tanya seorang pramugari. Kujawab, “pilav istiyorum” (saya mau nasi). “Hm...Türkçe biliyorsun, İçecek ne?” (Hm...kamu tahu bahasa Turki, Mau minum apa?), tanyanya lagi sambil tersenyum senang. Kujawab, “Su ve şeftalı suyu istiyorum” (Saya mau air putih dan jus aprikot). “Teşekkür ederim” (terima kasih), kataku. “Rica ederim”, jawabnya.
Sengaja aku menggunakan bahasa Turki, karena aku tahu semua pramugari di Turkish Airlines adalah orang Turki. Pengalaman pulang liburan pada tahun sebelumnya, jatah makananku ditambah hanya karena aku bisa berbahasa Turki. Tapi kali ini aku kurang beruntung, hanya porsi senyuman saja yang mereka tambah.
Setelah makan, mataku mulai terasa berat. Film Ice Age 4 yang kuputar di layar depan kursiku tak mampu menahan rasa kantuk. Perlahan tapi pasti, aku mulai hilang kesadaran dan masuk ke alam mimpi. Sampai bertemu di Kuala Lumpur.

Bersambung........




Rabu, 05 Desember 2012

E-government Research: Riviewing the Literature, Limitations, and Ways Forward


Introductions
This article discuss about the limitation in the government literature as definition vagueness of the e-government construct with emphasis political and institutional environments, and various methodical limitations, and to much focus on process-oriented e-government studies. Technology in government as peripheral concern rather than as a core management function. But, until now technology in government organizations to be one of the core management, such as the automation of mass transactions like as financial transactions. the purpose’s using internet and personal computer in government was to enhance the managerial effectiveness of public administrators while increasing government productivity, but in practice, that make dependent between administrator and computer system. In addition, IT were isolated functional and executive oversight. Since information technology was used automation operation and efficiency administrator activities, government IT professionals were isolated from functional and executive oversight. That can make abuse of power.

Definitions and Model e-Government
According UN & ASPA, E-government is defined as utilizing the internet and the world-wide-web for delivering government information and services to citizens. Means and Schneider define e-government as the relationship between governments, their customers (business, other governments, and citizens), and their suppliers (again, business, other governments, and citizens) by the use of electronic means. Brown and Brudney define e-government as the use of technology, especially web-based applications to enhance access to and efficiently deliver government information and services. They categorize e-government efforts into three broad categories of Government to Government (G2G), Government to Citizen (G2C), and Government to Business (G2B). One may include two additional categories in this list: Government-to-Civil Societal Organizations (G2CS) and Citizen-to-Citizen (C2C).

Subcategories of e-government
Parties of communication
Content
Dominant characteristic
Definition
Example
Government to Government
Government information and services
Communication, coordination, standardization of information and services
e-administration
Establishing and using a common data warehouse
Government to Citizen

Communication, transparency, accountability, effectiveness, efficiency, standardization of information and services, productivity
e-government
Government organization web sites, e-mail communication between the citizens and government officials
Government to Business

Communication, collaboration, commerce
e-government, e-commerce, e-collaboration
Posting government bids on the web, e-procurement, e-partnerships
Government to Civil society Organizations

Communication, coordination, transparency, accountability
e-governance
Electronic communication and coordination efforts after disaster
Citizen to Citizen

Communication, coordination, transparency, accountability, grass roots organization
e-governance
Electronic discussion groups on civic issues

The first model argues that e-government projects evolve through four stages of development. The first stage is cataloguing, providing government information by creating government agency Web sites. The second stage is transaction, agencies at this stage can provide online transactions with government agencies. The third stage is the integration of government operations within functional areas. Agencies working in the same functional area integrate their online operations. The fourth stage is horizontal integration.
The second model of e-government development was it proposed a five-stage model of development. The first, emerging stage. Second, the number of government sites increase in number and become more dynamic in this ‘enhanced’ stage. The third ‘interactive’ stage enables the users to download forms and interact with officials through the Web. In the fourth ‘transactional’ stage, users have the ability to make online payments for transactions. The final ‘seamless’ stage makes the integration of electronic services across government agencies possible.
Moreover, Fountain introduced the technology enactment framework that has three elements. That is First, application of IT to an organization changes the objective form of that technology due to its adjustment to the organizational form. Second, there is a two-way interaction between the existing institutional arrangements and organizational forms. Third, the first two elements, that is, adoption and implementation processes, transform the objective form of technology to its enacted form. But, the Fountain idea was criticized by other scientist for three reasons. First, the framework is so abstract and generalized that it is difficult to use it for prediction. Second, Fountain's research agenda is not well-linked to the previous literature in both public administration and IT. Third, Fountain's limited focus, as the book uses examples only from the U.S. federal government.

Limitations of The e-Government Concept
The e-government concept is limited in four ways. First, e-government don’t has standard definition of concept, because e-government is a concept defined by the objective of the activity (transfer of government information and services among governments, their customers and suppliers), rather than by the specific technology used, provider of the service/ information, or clear-cut activities of the related actors. Second, e-government is one of those concepts that mean a lot of different things to a lot of different groups. For example, identifies different parts of e-government as e-service delivery, e-democracy, and e-governance. Third, as if it is not enough for the real substance of the concept to be ambiguous, poorly defined and/or context-dependent, e-government contains much hype and promotional efforts/literature as well, similar to the concepts of “knowledge management” or “management by objectives”. Fourth, one might ask how substantial a change is required to meet the criteria for a government technology project to be titled as an e-government project. For example, are static Web sites or e-mail addresses of public managers enough? Or is some level of interactions required? Lyne and Lee answer this question with their stages of e-government growth model.

Suggestions
In the part of policy process and political nature of government has four suggestion. The first suggestion is to examine and better explain the processes of, and participation patterns in, e-government projects. The second suggestion is to address the problem of underspecification in the e-government literature. The third suggestion is to explain the policy-making processes in e-government projects in a complex political environment. Fourth, The final suggestion is to tie the subject of e-government strongly to mainstream public administration research.
In the part of methodological suggestion is the change the view to see e-government from output to process. examine and explain the non-technical and political nature and processes of e-government may help to protect the public interest when spending large amounts of government money on e-government projects. Only when we understand the processes of e-government policy making, we can evaluate the true merits of e-government initiatives. Moreover, this new understanding may enable public administrators to be ready to make the technical, managerial, and political adjustments to the policy-making processes.

A new categorization of e-government research
Dimension
Orientation
Output
Outcome
Process
Focus
Web sites, online government services, front office
How does an e-government application affect a certain variable such as trust, accountability, transparency, corruption, government effectiveness, users perceptions of service quality
Process of decision making, planning, implementation, back office
Method
Content analysis, determining best practices, benchmarking, surveys, case studies
Content analysis, determining best practices, benchmarking, surveys, case studies
Interview, archival analysis, discourse analysis, case studies
Data
Primary and secondary
Primary and secondary
Primary
Mode of analysis
Outside-in, deductive
Outside-in, deductive
Inside-out, inductive
Outcome
Descriptive, Exploratory
Descriptive, Exploratory
Theory generation, explanatory
Examples
Bauer and Scharl (2000; Cohen and Emicke (2001); Hernon (1998); Stowers (1998); West, 2003a, 2003b
Cullen and Houghton (2000); Gant and Gant (2002); La Porte, at al. (1999); Mahmood (2004); Torres et al. (2005)
Bellamy and Taylor (1998); Fountain (2011); Jonas (2000); Yildiz (2004)


Summary of Mete Yıldız paper in Government Information Quarterly Journal (2007)

Kamis, 07 Juni 2012

YÖNETİM DEĞERLENDİRMESİ


GİRİŞ

Çok geniş bir tanımlama yönetim, uzmanları için temel teorik sorunları oldu. Bu nedenle yönetim değerlendirmek için parametrenin uygulaması çok zor. Çünkü yönetim (yumuşak bilimi) çok boyutlu (multidimensional) ve çok disiplinli (multidisciplinary) bir bilim olarak değerlendirmek için çok geniş. Başka, kamu ilişkilere odağı daraltmaya karar alma ve uygulama süreci içerir olduğunu. Yönetiminin yeri (locus) kamu işlerine devletin rolünün azaltılması ile daraldı. Onlar kendilerini değerlendirmek ve geliştirmek için yönetim teşvik etti.

DEĞERLENDİRMESİNİN PARAMETRELERİ

Yönetim değerlendirmek için performans değerlendirme kullanılabilir. Kavramı yani kapsamlı bir değerlendirme girdi (inputs), çıktı (outputs), sonuçlar (results), faydalar (benefits), ve etkileri (impacts) içerir. Kavramının parametreleri, etkinlik (effectivity), verimlilik (efficiency), prodüktivite (productivity), ve kârlılık (profitability) vardır.

Etkinlik yani bir başarı, kullanılan kaynak oranı (girdi) ve çıktı ne olursa olsun. Çıkış elde edilmesi etkili toplum hizmet şeklinde gerçekleştirilir. Etkinlik, hedeflere ulaşma derecesini ve istenilen etki ile gerçekleşen etki arasındaki ilişkiyi ifade etmektedir. Etkinlik üzerinde durulurken çıktılarla, sonuçlar arasında ayrım yapmak önemlidir. Sonuçları ölçmek ve değerlendirmek, girdi ve çıktıları ölçmek ve değerlendirmekten daha zordur. Performans denetimi alanında elde edilen gelişmeler sonucu, incelemesi ve ölçmesi daha kolay olan verimlilik ve tutumluk denetiminden, etkinlik denetimine doğru bir yöneliş vardır. Etkinlik konusu politikaya çok yakın bir konu olup, denetçiler politikalarla değil, politika araçlarının seçimi ve bunların uygulanması ile ilgilenmektedirler.

Verimlilik genel olarak, insan ihtiyaçlarını tatmin eden kaynakların etkinliğinin ölçüsüdür. Verimlilik üretin mal ve hizmet miktarı ile bu üretimde kullanılan faktör miktarı arasındaki ilişki olarak ifade edilebilir. Verimlilik bir başka şekilde çıktı ve girdi arasındaki orantı olarak da tanımlanabilir. Bu tanım, herhangi bir yönetim, bir endüstri ya da ekonomi içinde geçerlidir. Verimlilik, üretilen miktarla bunun üretiminde kullanılan her hangi bir kaynak arasındaki oranı göstermektedir.

Prodüktivite üretim verimi bir ölçüsüdür. Prodüktivite üretmek (girdi) için gerekli olan üretim çıktısının oranıdır. Prodüktivite boyutu toplam giriş bir birim başına toplam çıkış olarak tanımlanmıştır.

Kârlılık bir diğer parametre göstergesidir. O politikaları ve kararları bir dizi net sonucunda (Brigham ve Houston, 2001: 197). Diğer duyular, Kârlılık, en basit ifadesiyle kazancın, bu kazancı sağlamak için kullanılan sermayeye oranıdır. Kârlılık kavramı da teknik açıdan bazı alt gruplara ayrılabilir ve bu şekilde ölçülebilir.

Artık tüm parametrelerden kamu sektöründe etkinlik çok kullanılıyor. Çünkü sektöründe kamu yönetimi ve siyaset karışık oluyor. Siyasetinde verilen giriş ile karşılaştırıldığında sonuç çıktı çok verimli değildir. Böyle diğer parametreler, verimlilik, prodüktivite, ve kârlılık kullanılmak için çok zordur. Bundan başka sosyal adaleti kavramı görünüyor. Kavramı verimlilik kavramı için eleştiri oluyor.

Sosyal adaleti kamu yönetiminin amaçlarından biri oluyor. O verimlilik, prodüktivite, ve kârlılık ile değerlendirilmez. Sosyal adaleti, azınlıkların siyasi güç ve ekonomik refahını artırmak için dizayn faaliyetleri kapsamaktadır. Bu verimlilik kavramı kolaylaştırdı edilmez. Sosyal adaleti değerlendirmek için sonuçların (results) ölçüsüne kadar değildir, ama faydalar (benefits), ve etkilerin (impacts) ölçüsüne kadar değerlendirilmeli.

YÖNETİM GELİŞTİRMESİ

Klasik Kamu Yönetimi (Old Public Administration), Yeni Kamu Yönetimi (New Public Management) ve Yeni Kamu Hizmetlerinden (New Public Service) kamu yönetiminin geliştirmesi parametreleri ile değerlendirilmek için çok ilginç.

1. Klasik Kamu Yönetimi (Old Public Administration)

Klasik Kamu Yönetimi bürokrasi ile eşanlamlı oldu. Bürokrasi kuruluşun İdeal tipi, yönetim sisteminde uzmanlaşmış çeşitli görevleri yürütmek için modern devlet kullanılan. Ancak bürokrasi çeşitli hastalıkların ortaya çıkmasına yerleştirmek için oldu (patoloji bürokrasi), mesela verimsizlik. Oysa Weber tarafından önerilen ideal bürokrasisinin özellikleri, örgütün verimliliğini maksimize resmi örgütsel biçimler hakkında formülasyon verdi.

Kaynakların sınırlarından dolayı, kamu kuruluşlarında dağıtımı gerçekleştirmek için bürokrasi öncelikli (priority) yapmalı. Öncelik verimliliğine dayalı, bazen dağıtım politikasında bir paradoks oldu. Kamu yönetimi verimlilik düşünürken genellikle adalet yönleri marjinal oldu. Genellikle etkinliğinin tedbirleri karar vermesinde bu durumu engellemek için daha sık kullanıldı.

2. Yeni Kamu Yönetimleri (New Public Managements)

Yeni Kamu Yönetimleri, hizmetlerinin sağlanmasında kamu yönetiminin zayıf performansı bir çözüm olarak göründü. Bürokrasinin görev ve fonksiyonları idari alanlarda vardır, böylece verimli bir şekilde çalıştırılabilir. Bu çalışma, devlet aygıtı içinde girişimcilik (etkinli ve verimli sistemi) ruhu enjekte ederek yapıldı. Girişimci ruhu enjekte, idari alanlarda bürokrasinin daha verimli bir performans oluşturmak için çok önemlidir. İdari alanlarda yönetim faaliyetleri ve kaynakların dağılımı içerdi.

Kaynaklarin dağılımı sosyal adaleti hedefleyen siyasi bir bölge oluyor. Girişimcilik ruhunu uygulanması bölgesinde halkın sömürü riskini artırabilir, çünkü piyasa mekanizması kullanıyor. Piyasa mekanizması arz ve talep düzeyi tarafından belirleniyor, böylece sosyal adaleti olmak için mümkün değildir. Sosyal adaleti yoksa insanların sömürülmesi vardır.

3. Yeni Kamu Hizmetleri (New Public Services)

Yeni Kamu Hizmetlerinin temel kavramı karar verme sürecinde toplumun rolünü iyileştiriyor ve geliştirdi. Bütün bu zaman küçük toplumun rolü ve katılımı, çünkü hükümet karar vermesinde ana rolü oldu. Ancak asıl sorun kendi halkı ile temsil kurumu/devlet arasındaki iletişim kanalı arıza oldu. Yeni Kamu Hizmetleri toplum katılımı ve kamu görevlilerinin hesabı artmak için verdi. Ortaya çıkan politikası toplumun güçlendirilmesi hedef almalıdır. Güçlendirme çıktısı (output) toplumun bağımsızlık büyüme oldu.

Sonra, kavramı İyi Yönetişim (Good Governance) kavramının ortaya çıkmasını teşvik ediyor. İyi yönetişim uygulanan veya uygulanması karar verme süreci. Başlıca özelliği katılım, uzlaşma yönelimli, hesap verebilir, şeffaf, duyarlı, etkili ve verimli, eşitlik ve açık, ve hukukun üstünlüğüne izleyin oluyor. İyi Yönetişimin kavramı sosyal adaleti az dikkate alıyor. Onun için bu bürokrasinin kalitesine bağlıdır. Eğer bürokratik kalite olursa sosyal adaleti ulaşılabilir.

SONUÇ

Yönetim değerlendirmesi girdi, çıktı, sonuçlar, faydalar, ve etkileri seviyesinden yapıldı. Yönetim parametreleri, etkinlik, verimlilik, prodüktivite, ve kârlılık vardır. Parametreleri yönetim gelişmesi (paradigma) tarafından kullanıldı.

Gelişme üç aşamadan görünümleri, kamu yönetiminin rolü bir kayma yaşadı. Klasik aşamada, devlet rolü çok güçlüdür. Böylece kontrol mekanizması yapmak için toplulukların rolü çalıştı. Zayıf kontrol mekanizmaları yolsuzluk ve verimsizliğin fırsatları yarattı. Yeni Kamu Yönetimi bürokrasinin performansını artırmak için bir girişim sundu. Ancak insanların sömürülmesinin riski arttı. Dışlanmış toplulukların konumu nedeniyle karar verme sürecinde daha az içerildi. Problemi Yeni Kamu Hizmetleri tarfından onarıldı. O karar verme sürecinde toplumun rolünü geri yüklemeye çalıştı. O çeşitli unsurları yoluyla (Devlet, toplum ve özel) sosyal ve demokrasi önlemleri hükümetin rolünü odakladı.




Yazar: Akmal Khairi (11912338)
Not: Ankara Üniversitesi, Sosyal Bilimler Enstitüsü, Siyaset Bilimi ve Kamu Yönetimi Bölümü, Eleştirel Yönetim Okumaları Dersinin Makalesi.