Minggu, 01 April 2012

HARUSKAH BBM NAIK ?


Kenaikan harga minyak (BBM) di sebagian besar negara merupakan peristiwa biasa, sama dengan kenaikan harga sebuah permen. Tapi di Indonesia, kenaikan BBM merupakan peristiwa yang luar biasa karena memicu naiknya harga kebutuhan pokok, bahkan harga permen pun ikut terdongkrak. Seperti kata Pak Dahlan Iskan, siapapun presidennya akan terjerat dengan BBM. Terjerat untuk memutuskan naik atau tidaknya harga emas hitam tersebut. Kenaikan harga BBM yang sebenarnya berada di ranah ekonomi keuangan meluas ke ranah politik. Dan bisa ditebak ujungnya, menimbulkan kehebohan yang luar biasa.

Banyak pihak yang mencoba memberikan solusi seperti Pak Dahlan Iskan yang mencoba mengembangkan mobil listrik nasional untuk mengurangi ketergantungan transportasi terhadap BBM. Dan saya juga merasa ikut terpanggil memberikan solusi sesuai dengan ilmu yang saya miliki, yaitu administrasi publik. Dalam ilmu administrasi publik, proses pengambilan keputusan memiliki banyak pilihan, atau dengan kata lain banyak jalan menuju Roma. Tulisan ini mencoba mengkaji pilihan-pilihan tersebut.

Subsidi BBM mulai diberikan ketika Indonesia mengalami surplus minyak pada tahun 80-an. Pada saat itu, minyak yang kita hasilkan lebih besar dari pada yang dikonsumsi, sehingga pemerintah mampu untuk memberikan subsidi. Namun sejak akhir tahun 90-an, produksi minyak nasional terus menurun, sedangkan konsumsi terus meningkat. Pada tahun 2012 ini, produksi minyak nasional sekitar 900 ribu barel per hari, sedangkan konsumsi sebesar 1,3 juta barel per hari. Inilah yang memaksa pemerintah mencabut subsidi untuk menyeimbangkan anggaran.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pencabutan subsidi merupakan solusi satu-satunya?

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa sebab dari dicabutnya subsidi BBM adalah terjadinya ketimpangan antara jumlah produksi dengan jumlah konsumsi. Produksi terus menurun, sementara konsumsi terus meningkat. Dari penjelasan tersebut sebenarnya ada 3 solusi, yaitu meningkatkan produksi, mengurangi konsumsi, terakhir baru mencabut subsidi agar sesuai dengan harga pasar.

Solusi pertama, meningkatkan produksi, bisa dengan melakukan efisiensi dan maupun membuka ladang minyak baru. Untuk efisiensi, sistem cost recovery (biaya produksi minyak yang diganti oleh negara) sangat tidak efisien. Sistem ini sangat memanjakan perusahaan minyak karena biaya eksplorasi, produksi, dan administrasi yang mereka keluarkan diganti oleh pemerintah. Inilah bisnis yang tidak mengenal rugi atau balik modal. Lebih menyakitkan lagi, 90% blok migas kita dikuasai asing, sehingga dana cost recovery tersebut mengalir ke luar. Pada tahun 2012 ini saja, negara harus membayar cost recovery (secara tidak langsung subsidi untuk perusahaan migas) sebesar US$ 15,3 miliar (Rp 140,2 Triliun). Jika pemerintah bisa menghapuskan atau mengurangi cost recovery ini, tentu pengahasilan dari sektor migas akan meningkat sehingga mampu mempertahankan subsidi BBM.

Kebijakan perminyakan Indonesia, selain tidak efisien dalam produksi juga tidak efisien dalam proses penjualan. Pemerintah mengizinkan perusahaan eksplorasi minyak untuk menjual produksinya langsung ke luar negeri. Untuk kebutuhan dalam negeri, pemerintah meminta Pertamina selaku distributor BBM membeli minyak dengan harga pasar melalui Petral, yaitu perusahaan broker yang berpusat di Singapura. Inilah salah satu alasan pemerintah mengurangi subsidi bahkan mungkin akan mencabutnya. Padahal, ada cara yang lebih efisien, yaitu pertamina membeli langsung dari perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia, kemudian mengolahnya sendiri. Cara ini mampu menekan ketergantungan harga minyak dalam negeri terhadap harga di pasar dunia.

Untuk pembukaan ladang minyak, pemerintah sama sekali tidak menunjukkan usaha untuk mencari ladang minyak baru. Dari 60 cekungan minyak yang diketahui, baru 38 yang dieksplorasi. Di cekungan yang belum dioperasi tersebut terdapat cadangan sebesar 9,67 miliar barel minyak. Jika semuanya deksplorasi maka cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (479 juta barel per tahun) selama 20 tahun. Bahkan angka ini masih bisa bertambah jika pemerintah benar-benar berusaha meningkatkan riset untuk menemukan ladang minyak yang baru. Namun, potensi ini tidak dimanfaatkan secara maksimal. Inilah yang menjadi ironi, disaat konsumsi minyak meningkat tajam, pemerintah hanya membuka sedikit ladang minyak baru.

Solusi kedua adalah mengurangi konsumsi BBM. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan BBM. Dari konsumsi minyak nasional, 56% berada di sektor transportasi. Jika pemerintah ingin mengurangi penggunaan BBM, maka mengembangkan transportasi umum yang berkualitas serta menekan penggunaan kendaraan pribadi adalah solusinya. Namun, hampir tidak ada usaha pemerintah untuk melakukan hal tersebut. Malah yang ditekan adalah rakyat kecil lewat program konversi minyak ke gas (hanya 14 % dari konsumsi BBM nasional).

Kita bisa amati, dalam beberapa tahun belakangan tidak ada usaha pemerintah untuk mengembangkan transportasi masal, seperti kereta api. Transportasi yang sudah ada pun kualitasnya masih sangat rendah. Inilah yang menghambat masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Otomatis ini juga menghambat usaha untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi di kota-kota besar.

Solusi ketiga adalah mencabut subsidi BBM. Inilah pilihan yang paling mudah, merugikan dan beresiko tinggi. Pemerintah tidak perlu bertindak apa-apa, hanya mengikuti harga pasar. Ketika harga pasar naik dan mengancam keseimbangan anggaran tinggal mencabut subsidi.

Pengambilan sebuah keputusan di pemerintahan harus memperhatikan prinsip rasionalitas publik, yaitu mengambil keputusan terbaik berdasarkan logika. Tujuannya untuk mendapatkan dukungan dan mengurangi potensi konflik dengan masyarakat. Berdasarkan fakta di atas, solusi yang paling rasional adalah solusi pertama dan kedua. Bahkan jika dikombinasikan antara keduanya, akan menghasilkan keuntungan yang luar biasa. Yang menjadi pertanyaan terakhir adalah jika ada pilihan-pilihan lain yang lebih menguntungkan dan aman mengapa pemerintah lebih memilih pilihan yang merugikan dan beresiko? Apakah ini karena ketidaktahuan atau karena kesengajaan? Entahlah….