Sabtu, 04 Februari 2012

ANTARA MIMPI DAN KENYATAAN


Pembahasan mengenai barat dan timur akan membawa kita melihat beberapa perbedaan. Selain perbedaaan geografi, kita juga dapat melihat perbedaan nilai-nilai yang di gunakan. Di barat, nilai-nilai yang dominan adalah nilai-nilai individu. Kebebasan individu menjadi prinsip dasar dalam kegiatan masyarakat barat. Sedangkan, orang-orang timur lebih mengedepankan nilai-nilai kebersamaan/kemasyarakatan. Sehingga kebebasan individu bukan hal yang mutlak karena harus disesuaikan dengan kepentingan umum.

Perbedaan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun yang perlu dicatat, setiap peradaban maju dan berkembang dengan berpedoman kepada nilai-nilai yang dianutnya. Nilai-nilai kebebasan individu yang digunakan masyarakat barat menjadi napas bagi revolusi industri pada abad ke 17. Sebelum itu, nilai-nilai islam menjadi dasar utama bagi kejayaan bangsa arab dari abad ke 7 hingga abad ke 12. Bahkan jauh sebelum masehi, beberapa peradaban kuno telah mencapai puncak kejayaan dengan nilai-nilai yang mereka yakini.

Indonesia sebagai bagian dari bangsa timur juga memiliki nilai-nilai tersendiri. Bahkan jumlahnya lebih banyak karena keadaaan masyarakat yang majemuk, beraneka ragam etnis dan agama. Meskipun begitu, banyaknya nilai berbanding terbalik dengan penggunaannya. Kecenderungan masyarakat Indonesia di abad 21 ini, nilai hanya menjadi cerita tertulis, sedangkan tindakan sehari-hari masih jauh bahkan bertolak belakang dengan nilai yang dianut. Misalnya bagi orang Indonesia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut (Kwang, 2001). Tidak heran, kejahatan dan kebohongan besar seperti korupsi pun diterima sebagai sesuatu yang wajar.

Riau yang merupakan bagian dari Indonesia, memiliki banyak nilai yang telah diwariskan oleh para leluhur. Nilai-nilai tersebut secara tidak langsung terlembaga karena penggunaan simbol-simbol budaya dalam kegiatan pemerintahan. Namun, seperti cerminan masyarakat Indonesia sekarang, simbol hanya sebatas simbol. Tindakan sehari-hari masih jauh dari simbol yang digunakan. Di atas pangung mengajarkan nilai sopan santun, tapi sehari-hari menunjukkan sifat kasar dan hasut. Setiap saat menganjurkan kejujuran, namun dalam kata dan perbuatan lebih banyak kebohongan daripada kebenaran. Kopiah dan songket tidak pernah ketinggalan, tapi justru dengan itu KKN dilaksanakan. Setiap pidato ayat Al-quran jadi kutipan, tapi dalam keseharian halal dan haram dicampuradukkan.

Walaupun terlihat jelas perbedaan ucapan dan sikapnya, mereka masih saja berteriak membanggakan budayanya. Bahkan ini didukung oleh sikap lembaga-lembaga yang memberikan gelar adat tanpa ukuran yang jelas. Orang yang jelas-jelas tak beradat malah mendapatkan gelar adat. Inilah yang menjadi pembenaran kejahatan atau penyimpangan yang mereka lakukan. Ketika terjadi kerusakan moral di masyarakat, yang jadi kambing hitam adalah pelaku dan pengaruh luar. Padahal, jika para tokoh mampu menerapkan dan memberikan teladan, kerusakan moral bisa dikurangi.

Keadaan seperti itu tidak menyurutkan masyarakat Riau untuk bermimpi mencapai visi misi Riau 2020: menjadi pusat peradaban melayu dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Sekarang kita lihat saingan kita seperti Malaysia dan Singapura. Malaysia sangat konsisten menerapkan nilai-nilai melayu dalam pembangunannya. Begitu juga dengan Singapura, sebagai negara multi etnis mereka menggunakan nilai-nilai kebaikan universal seperti disiplin, kebersihan, ketegasan dan lain-lain.

Mereka semua telah berlari untuk mencapai cita-citanya, sementara kita menjadikan cita-cita hanya sebagai pelengkap konsep pidato. Masih beranikah kita bermimpi menguasai Asia Tenggara dengan saingan yang sedang melaju pesat dan kita yang sedang kehilangan jati diri?. Berkaca dari pengalaman beberapa umat yang telah mencapai puncak kejayaan di masa lalu, sulit rasanya untuk yakin kita akan berhasil.

Kembali ke khittah adalah salah satu solusi. Kembali ke nilai-nilai yang kita yakini dapat membangun jati diri kita. Michael P. Todaro, memasukkan Self-estem (jati diri) sebagai syarat untuk memahami makna pembangunan. Pembangunan akan kehilangan roh jika masyarakatnya kehilangan jati diri. Tentu saja dengan harapan ini bukan sekedar tulisan penghias spanduk, tapi tindakan nyata yang harus dilakukan dalam keadaan senang ataupun susah. Aparat pemerintah, tokoh masyarakat, alim ulama, dan cerdik pandai adalah ujung tombak utama. Karena sebagai tokoh publik, merekalah yang menjadi panutan bagi masyarakat. Selama mereka masih mempertontonkan penyimpangan, sulit untuk berharap akan terjadi perubahan. Ibarat kata pepatah, jika guru kencing berdiri, muridnya akan kencing berlari.