Jumat, 13 Januari 2012

AMBIGUITAS OTONOMI DAERAH


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ambiguitas adalah kemungkinan adanya makna lebih dari satu dalam sebaut kata, gabungan kata, atau kalimat. Jadi Ambiguitas dalam otonomi daerah dapat kita artikan sebagai pemaknaan lebih dari satu makna terhadap konsep otonomi. Otonomi daerah yang mulai diperkuat sejak keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dan diperbaharui dengan UU No.32 Tahun 2004, ternyata belum mencapai pada tujuannya yaitu mengakomodasi kepentingan masyarakat, melakukan efisiensi, serta pemberdayaan masyarakat daerah.

Ada bermacam-macam ambigu yang bisa kita amati. Pertama, ambigu tentang makna otonomi. Bagi masyarakat di daerah, otonomi dianggap sebagai pelimpahan semua kewenangan kepada pemerintah/masyarakat daerah. Sedangkan menurut pemerintah pusat otonomi daerah merupakan pelimpahan hanya sebagian kewenangan. Menurut masyarakat di daerah, Setiap tindakan dari luar (pemerintah pusat) adalah bentuk campur tangan yang haram hukumnya. Mereka lupa bahwa daerahnya masih bagian dari Pemerintah Republik Indonesia. Dalam konsep otonomi bahkan negara federal sekalipun, pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk mencampuri urusan yang ada di daerah karena kewenangan yang ada di sana merupakan kewenangan pemerintah pusat yang telah dilimpahkan. Konsep tersebut merupakan makna otonomi dari sudut pandang pemerintah pusat, sedangkan masyarakat daerah memandang bahwa kewenangan yang ada di mereka merupakan milik mereka sepenuhnya. Akibatnya sering muncul perang opini antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah. Pemerintah pusat menganggap daerah tidak mampu menjalankan otonomi, sedangkan daerah berpikiran pemerintah pusat tidak sepenuhnya memberikan kewenangan. Pemerintah pusat menganggap semua kewenangan telah dilimpahkan/didelegasikan, tetapi masyarakat di daerah masih berteriak minta tambah kewenangan. Dulu minta otonomi, setelah diberi minta lagi otonomi khusus, setelah dapat masih juga merasa kurang dan akhirnya minta merdeka. Masalah seperti ini dipicu oleh kesalahan informasi antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah. Penyebabnya bisa karena pemerintah pusat kurang memberikan pemahaman atau pejabat-pejabat daerah yang membiarkan/memberi pemahaman yang salah. Hal-hal seperti ini yang menyebabkan suburnya penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat daerah. Mereka memanfaatkan perbedaan pemahaman masyarakat dan pemerintah pusat untuk berlindung atau mengalihkan perhatian dari penyimpangan yang mereka lakukan.

Ambigu kedua, letak otonomi daerah. Menurut konsepnya, letak otonomi daerah difokuskan di pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi menjadi perwakilan pemerintah pusat di daerah (Asas Dekonsentrasi) yang berwenang melakukan pengawasan dan koordinasi. Namun dalam prakteknya, pemerintah provinsi selain menjalankan Asas Dekonsentrasi juga menjalankan Asas Desentralisasi (pelimpahan kewenangan) yang sebenarnya milik Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini ditandai dengan dipilihnya Gubernur oleh rakyat serta dipertahankannya organisasi perangkat daerah seperti DPRD provinsi dan badan-badan lainnya. Dampaknya, pemerintah provinsi harus diberi kewenangan yang sama dengan pemerintah kabupaten/kota karena kesamaan bentuk organisasi. Otomatis tugas dan tanggung jawabnya lebih kurang sama. Tidak mengherankan sering terjadinya tumpang tindih kewenangan antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah provinsi karena ketidakjelasan pemerintah provinsi menjalankan asas dekonsentrasi atau desentralisasi. Akibat buruknya lagi, terjadi kegiatan politik dan pemerintahan berbiaya tinggi. Pemerintah provinsi mengadakan Pilkada sebagaimana pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi memiliki anggaran pembangunan seperti yang dimiliki kabupaten/kota. Provinsi juga memiliki legislatif sebagaimana kabupaten/kota. Ini yang menyebabkan tujuan otonomi untuk menciptakan efisiensi tidak tercapai dan malah menciptakan pemborosan.

Ambigu ketiga, pengertian tentang rakyat. Rakyat dalam arti yang sebenarnya adalah seluruh penduduk yang mendiami suatu wilayah. Rakyat dalam konteks otonomi daerah adalah pelaku dan sasaran dari otonomi itu. Otonomi yang didapat dan dijalankan oleh pemerintah daerah ditujukan untuk memberdayakan rakyat sehingga dapat mencapai kesejahteraan. Namun pada prakteknya, yang diberdayakan untuk menjadi sejahtera hanya kelompok tertentu yaitu pejabat daerah dan pengusaha rekanan pemerintah daerah. Bahkan dengan lantanganya setiap kepala daerah berlomba-lomba mengumumkan keberhasilannya mensejahterakan rakyat. Padahal makna rakyat yang sebenarnya dengan yang mereka maksudkan berbeda.

Infrastruktur dibangun bukan untuk mendorong perekonomian masyarakat, melainkan hanya untuk menciptakan kemegahan. Peningkatan lapangan kerja dibuat secara instan yaitu membuka lowongan PNS sebesar-besarnya. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan jumlah PNS dan beban kerjanya. Inilah yang membuat ketimpangan APBD setiap tahun, dimana belanja pegawai lebih besar dari pada belanja pembangunan.

Ambigu-ambigu tersebut terjadi bisa karena perbedaan pandangan bisa juga karena sengaja diciptakan. Dari setiap kekurangan dalam suatu sistem ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan. Setelah 12 tahun otonomi daerah diperkuat, manfaat terbesar diperoleh hanya sekelompok orang yang dekat dengan kekuasaan. Di satu sisi pemerintah pusat merasa sudah memberikan otonomi yang besar kepada daerah, sedangkan di sisi lain masyarakat di daerah masih saja merasa kekurangan. Di masa lalu kekuasaan dan kesejahteraan terpusat di Ibu Kota. Sedangkan pada saat sekarang kekuasaan dan kesejahteraan justru tertahan di pusat kekuasaan daerah. Terpampang dengan jelas di depan mata masyarakat. Bagi mereka yang tidak memahami permasalahan otonomi, dengan cepat menuding adanya ketidak adilan pemerintah pusat. Orang-orang seperti ini yang terus dikipas untuk minta merdeka, memberontak dan sebagainya. Padahal walau bisa merdeka sekalipun jika sikap mental pengusa daerah masih belum berubah, kesejahteraan untuk masyarakat hanya seperti tetesan embun di pagi hari.