Kemacetan yang melanda Jakarta ikut membuat saya prihatin. Ketika pertama kali menginjak Jakarta pada tahun 2005 saya sudah sering mengalaminya. Namun, beberapa tahun belakangan ini kemacetan ibukota sudah sangat parah. Betapa tidak, dari kawasan Sudirman ke Margonda Depok yang jaraknya lebih kurang 25 Km saya menghabiskan waktu sekitar 3 jam. Begitu juga keluhan salah seorang teman saya yang berjuang 1 jam untuk menaklukkan jalanan Kampung Rambutan – Margonda Depok (sekitar 17 Km) menggunakan sepeda motor.
Masalah tersebut membuat saya teringat pada salah satu makalah kelompok ketika masih kuliah di Administrasi Negara UI. Ketika itu kelompok saya mempresentasikan tentang sejarah Kota Jakarta. Kota ini sebelumnya bernama Batavia yang dirancang oleh Pemerintah Hindia Belanda hanya untuk ditempati 800.000 orang. Namun, pada saat ini penduduk Jakarta sudah mencapai 8.522.589 orang (Sudin Kependudukan dan Catatan Sipil, 2010), bahkan pada siang harinya penduduk Jakarta mencapai 12 juta orang akibat masuknya penduduk comuter (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) yang bekerja di Jakarta. Kelebihan jumlah penduduk inilah yang menjadi penyebab utama kemacetan. Dengan luas wilayah hanya 740,3 Km2, Jakarta ditempati 11.512 orang setiap kilometernya, dan pada siang hari kepadatannya menjadi 16.209 orang per kilometer. Keadaan ini berbeda jauh dengan kepadatan penduduk secara nasional yaitu sebesar 124.7/Km2 (Wikipedia, 2010).
Data-data tersebut menggambarkan bahwa terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan antara Jakarta dan wilayah lainnya. Disatu sisi keadaan ini menguntungkan Jakarta, namun disisi lain Jakarta direpotkan dengan tingginya arus urbanisasi dan dampak negatif yang ditimbulkan seperti kemacetan, kriminalitas, ketidakteraturan, kemiskinan, dll. Kalau diumpamakan, Jakarta seperti orang yang makan kekenyangan sehingga bukan lagi mendapat manfaat tetapi musibah yang datang mendera. Keadaan ini diperparah dengan faktor topografi yang tidak menguntungkan. 40% wilayah Jakarta berada dibawah permukaan laut pasang, serta dilalui 13 sungai yang mengalir dari arah selatan ke utara (Bappeda Jakarta), sehingga hampir setiap saat Jakarta kebanjiran.
Masalah ini bisa diatasi dengan berbagai cara, tapi memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit baik materi, waktu, dan tenaga. Jika seandainya Jakarta bisa ditata ulang sehingga menjadi tertib dan bebas dari masalah, ini hanya akan berlangsung dalam waktu singkat. Dalam jangka panjang keadaan tersebut semakin mendorong masyarakat melakukan urbanisasi besar-besaran ke Jakarta karena ketidakseimbangan pembangunan. Jakarta akan semakin gemerlap dengan ditambahnya berbagai fasilitas baru sehingga menawarkan berbagai mimpi bagi masyarakat di daerah lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa menata Jakarta secara parsial tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan masalah baru. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang komprehensif untuk mengatasi masalah yang ada di ibukota negara ini.
Masalah yang dihadapi Jakarta merupakan bagian dari masalah nasional. Kegagalan melakukan desentralisasi pembangunan mengakibatkan terkonsentrasinya pembangunan di ibukota. Dengan kepadatan 130 kali lipat dari kepadatan nasional, menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara ibukota dan wilayah lainnya. Solusi yang komprehensif untuk memecahkan masalah tersebut adalah mendirikan pusat pertumbuhan baru untuk membagi beban yang ada di Jakarta. Beban Jakarta sebagai ibukota Negara, pusat bisnis, pusat perdagangan, dan pusat beberapa industri harus dialihkan sebagian ke wilayah lain. Relokasi industri maupun pusat bisnis bukan pilihan yang bijak karena dapat membuat kegoncangan ekonomi masyarakat dan membutuhkan pembiayaan infrastruktur yang sangat besar. Solusi yang paling masuk akal adalah memindahkan Ibukota Negara.
Pada tahun 1960, Presiden Soekarno membangun Kota Palangkaraya sebagai Ibukota Republik Indonesia di masa depan. Soekarno sudah memperkirakan bahwa Jakarta pada suatu saat tidak akan mampu lagi menanggung beban sebagai ibukota negara sehingga diperlukan wilayah baru yang disiapkan sebagai ibukota. Namun, ide Soekarno tersebut tidak terlaksana karena beliau lengser pada tahun 1966. Beliau dicurigai dekat dengan PKI sehingga segala yang berbau Soekarno beserta pemikirannya dilarang. Akibatnya, pembangunan Palangkaraya sebagai ibukota negara tidak dilanjutkan.
Masalah yang dihadapi Jakarta dan kesenjangan pembangunan pusat – daerah pada saat ini, membuat ide pemindahan ibukota yang dicetuskan Soekarno layak untuk diteruskan. Dengan memindahkan ibukota, beban yang ada di Jakarta akan berkurang dan akan memunculkan pusat pertumbuhan baru yang diharapkan dapat menggerakkan pembangunan di wilayah sekitarnya. Selain itu, Pemerintah Jakarta dapat menata kembali wilayahnya sehingga dapat mengurai masalah yang ada selama ini.
Dalam tulisan ini saya tidak dapat menentukan secara khusus wilayah yang dapat dijadikan ibukota karena memerlukan penelitian lebih lanjut. Saya hanya menyarankan bahwa ibukota baru harus berada di luar Pulau Jawa dan Sumatera. Wilayah di Pulau Jawa tidak dapat dijadikan ibukota karena wilayah tersebut memiliki tanah yang sangat subur, sehingga lebih cocok dijadikan lumbung pangan nasional. Sedangkan Pulau Sumatera memiliki letak geografis yang sangat strategis yaitu di jalur pelayaran internasional Selat Malaka, sehingga tanpa keberadaan ibukota di sana, pulau tersebut sudah maju pesat. Kawasan yang jauh tertinggal adalah Indonesia Tengah dan Timur sehingga sudah selayaknya ibukota negara dipindahkan ke sana untuk mempercepat pembangunan.
Pemindahan ibukota negara sangat bermanfaat bagi pembangunan nasional. Daerah yang menjadi bukota akan menjadi pusat pertumbuhan baru yang akan menggerakkan pembangunan di wilayah sekitarnya sehingga mendorong pemerataan pembangunan. Selain itu, dengan berkurangnya beban Jakarta, maka pemerintah dapat menata kembali kota tersebut menjadi lebih indah dan tertib. Tanpa pemindahan ibukota, maka Jakarta akan menjadi semakin gemuk seperti orang yang makan kekenyangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar