Dengan rasa malas yang luar biasa, terpaksa kubuka mata karena ada kilauan cahaya matahari yang menerobos melaui celah gorden. Otakku langsung berputar mengingat rencana hari ini. Teringatlah bahwa hari ini aku akan memulai perjalanan panjang menuju kampung halaman. Langsung kugapai telepon genggam, “ya Allah, sudah jam 10:12,”. Ada pesan dari Bang Faris, “jam berapa dari asrama? Abang belum kotakin buku rupanya”. Syukurlah ternyata dia juga belum siap, kujawab “terserahlah Bang”. Kemudian aku bergegas ke kamar mandi.
Sebelum kita terlalu jauh, ada baiknya kujelaskan alasan menulis tulisan ini. Akhir bulan Januari 2013 yang lalu, Andrea Hirata, seorang Budak Melayu Belitong bertandang ke Ankara. Aku berkesempatan menemaninya menjelajahi kota ini. Obrolan kami disela-sela perjalanan sampai pada satu kesimpulan bahwa penulis merupakan pekerjaan yang paling cocok untuk Budak Melayu. Orang Melayu terlahir sebagai pujangga yang hidup di dalam dunia sastra. Perkataan sehari-harinya sarat dengan produk sastra seperti pribahasa, majas, pantun, puisi, sajak dan lain-lain. Abakku (ayahku) sering berkata “macam Belando minta tanah, dibagi sejengkal minta sehasta”, ketika ia membicarakan orang rakus dan licik. Selain itu, Emakku pun tak kalah jika berpribahasa, “takut ke hantu terpeluk ke bangkai”, untuk menggambarkan pekerjaan yang sia-sia. Aku juga pernah mendengar orang kampungku berkata ke pada anakanya yang bermata kemerah-merahan karena baru bangun tidur, “mato diko macam mato udang”.
“Ayolah Boi, mulailah kau menulis, supaya ngetop pulak kau macam aku ni, kita ni dah punya bakat alam, apa lagi yang ditunggu?” kata Bang Andrea menyemangatiku. Kujawab secara diplomatis, “nanti ajalah bang, kalau semester ini dah selesai, sekarang banyak tugas”. Jawabanku itu ada benarnya karena aku sedang mengambil 4 mata kuliah dalam 1 semester. Untuk program master, itu sudah sangat berat, apalagi perkuliahannya dalam bahasa Turki. Teman-temanku yang orang Turki saja hanya sanggup mengambil 3 mata kuliah.
Keberanianku itu tidak terlepas dari banyaknya mata kuliah yang tidak lulus pada semester 1 dan 2. Akibatnya aku harus hijrah dari Ankara Üniversitesi ke Hacettepe Üniversitesi. Di kampus baruku itu, aku diberi hak istimewa untuk untuk mengerjakan tugas dan presentasi dalam Bahasa Inggris, sesuatu yang tidak aku dapatkan di kampus yang lama. Meskipun begitu, banyaknya mata kuliah membuat aku tidak bisa menjadi mahasiswa santai lagi. Jika tidak ada kelas, aku mengeram di perpustakaan untuk mengerjakan tugas mulai dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam, bahkan terkadang sampai jam 10 malam. Terasa berat dan melelahkan, tapi bisa membuatku tersenyum melihat daftar nilai di akhir semester, dari terancam drop out menjadi terancam cum laude. Maka terbuktilah firman Allah dalam surat An-Najm: 39-41 bahwa setiap orang akan mendapatkan hasil sesuai dengan usahanya.
Mari kita kembali ke alur cerita. Sekembalinya dari kamar mandi kulihat di telepon genggam ada 2 panggilan tak terjawab dan 2 pesan whatsap. Ternyata Bang Faris sudah siap dan berangkat dahulu ke terminal karena ditunggu temannya. Segera aku mempersiapkan diri dan barang-barang bawaan. Ternyata koperku sangat berat sehingga membuat napasku tersengal-sengal ketika memikulnya dari lantai tiga, mungkin beratnya sekitar 27 Kg. Sempat terbersit kekhawatiran, karena pesawat yang aku tumpangi hanya memberi jatah bagasi 20 Kg, tapi ya sudahlah.., untuk saat ini yang paling penting adalah membereskan urusan perizinan di tata usaha asrama. Setelah semua beres, setengah berlari aku menuju stasiun subway, yang disini bernama Ankaray.
Setelah 30 menit di dalam Ankaray akhirnya sampailah di AŞTİ, terminal bus antar kota di Ankara. Terminal tersebut sangat mewah jika dibandingkan dengan terminal bus di negara-negara berkembang. Terminal ini berdinding kaca transparan, memiliki 2 lantai, lantai 1 untuk kedatangan dan lantai 2 untuk keberangkatan. Suatu ketika aku pernah mengantar seorang teman yang orang Pakistan. Dia sempat bingung dan bertanya, “Is this bus station?” (Apakah ini terminal bus?). Kujawab dan balik bertanya “Yes, what do you think?” (Ya, menurut kamu?). “I think this is airport, these in my country like this” (Saya pikir ini bandara, di negara saya bandara seperti ini) jawabnya. Kucoba menghibur dia dengan mengatakan “I also think like you when I first came here” (Saya juga juga berpikir seperti kamu ketika pertama kali datang kesini).
“Bang Rusli!!”. Badanku berputar ke kiri mencari arah suara tersebut. Seorang lelaki kurus-kecil melambaikan tangannya ke arahku. Bang Faris sering memanggilku Bang Rusli, panggilan seorang mantan Gubernur Riau yang sedang menjadi tahanan KPK. Alasanya sederhana, katanya gayaku mirip dengan dia. Sudah berkali-kali aku protes keras tidak ingin disamakan dengan tersangka korupsi, tapi seperti kebiasaan orang di ambang jenius lainnya, makin dilarang makin menjadi.
Setelah membeli tiket kami duduk di ruang tunggu keberangkatan. Karena masih ada waktu, aku pergi berkeliling mencari bantal leher agar nyaman tidur duduk di perjalanan. Aku menemukannya disebuah kios di lantai 1. Melihatku datang sambil menjinjing bantal leher, Bang Faris mengejekku, “Apalah yang kau beli ni, manja betul pakai bantal”. Kujawab singkat, “awas kalau pinjam!!”.
Jarak Ankara-Istanbul sekitar 400 Km dengan jalan tol yang lurus membuat waktu tempuh hanya 7 jam. Bahkan, jika mau membayar lebih mahal untuk bus eksekutif, waktu perjalan bisa dipercepat karena semakin mahal tarif maka semakin sedikit bus tersebut singgah dalam perjalanan. 30 menit setelah berangkat, aku tidak bisa tidur karena sibuk menonton film dan mendengarkan musik pada layar kecil di depan kursi. Ya, di sini, bus-bus antar kota memiliki fasilitas hiburan setara dengan pesawat terbang jarak jauh. Sebuah layar kecil di depan kursi yang berisi rekaman berbagai jenis film, lagu, murattal Al-qur’an, dan aneka permainan membuat penumpang merasa jauh dari kata bosan sekaligus sulit untuk memejamkan mata.
Setelah 3 jam perjalanan, kami memasuki wilayah Bolu yang memiliki jalanan berbukit-bukit dengan jurang terhampar hijau serta berkabut seperti di Luxemburg. Semakin lengkaplah apa yang dimiliki Turki sebagai miniatur Eropa. Selain Bolu, banyak wilayah-wilayah lainnya yang memiliki pemandangan dan suasana seperti eropa. Jika kita ingin berjalan kaki dikelilingi gedung-gedung tua ala Paris, maka kawasan Taksim di Istanbul adalah tempatnya. Jika ingin melihat reruntuhan bangunan kuno ala Yunani, maka kawasan Efes di Izmir adalah jawabannya. Dan jika ingin menikmati suasana pantai Laut Mediterania seperti di Italia, maka Antalya merupakan tempat yang cocok. Disamping itu, Turki memiliki berbagai kemudahan dibandingkan Eropa, antara lain, bisa masuk menggunakn visa on arrival (VoA) bagi WNI, biaya hidup yang lebih murah, serta kemudahan dalam mencari makanan halal. Dengan alasan-alasan tersebut, aku membatalkan rencana keliling Eropa karena semuanya telah ada di Turki.
Mendekati Istanbul, jalanan mulai sesak dengan kendaraan persis seperti di Tol Jagorawi ketika mendekati Jakarta. Dalam kemacetan yang membosankan itu, Bang Faris berkata, “gimana rasa bantal leher kau tu Mal, sini abang cobain bentar”. Waktu terus berlalu, 5, 10, 15 hingga 20 menit kemudian, bantal itu tidak juga kembali kepdaku. Langsung saja kurampas dan berkata ketus, “tadi pas aku beli diejek, sekarang keenakan. Salah sendiri gak mau beli”. Ternyata Allah memang tidak menyukai orang sombong. Ketika turun di Terminal Esenler, Istanbul, aku lupa membawa bantal tersebut, dan orang yang sangat bahagia ketika itu adalah Bang Faris. Dia berkhotbah seperti orang kramat yang baru saja mengirimkan kutukannya.
Dari Esenler kami menggunakan subway menuju bandara. Namun, sebelum sampai bandara, kami singgah dulu di Stasiun Yenibosna. Di sana kami bertemu dengan pasangan suami istri, Bang Arhami dan Kak Anita. Sewaktu tinggal di Izmir dulu, aku dan teman-teman asrama lainnya sering diundang ke rumah mereka. Di sanalah kami dapat menikmati makanan Indonesia dan sejenak melupakan makanan Turki yang hambar serta rotinya yang keras.
Kami sampai di bandara 2 jam sebelum berangkat. Ketika chek in, seperti perkiraanku sebelumnya, koperku melebihi kuota. Mukaku berkerut melihat di layar timbangan tertulis angka 27 Kg, aku tak sanggup mengurangi hingga 7 Kg. Perempuan cantik penjaga counter menggeleng-gelengkan kepalanya. Terpaksa aku keluarkan kata-kata sakti, "Ben öğrenciyim. Bu tatilde ailem için çok hediye getiriyorum. Lütfen, bana yardım et!!" (Saya ini pelajar. Liburan ini, saya bawa banyak oleh-oleh untuk keluarga saya. Tolong bantu saya!!). Dia berpikir sebentar, kemudian mukanya yang mirip Katy Perry tersenyum cerah, “Tamam. 24 Kg olabilir” (Ok. boleh 24 Kg) katanya. Langsung kupindahkan 3 buah buku tebal dari dalam koper ke ranselku, lalu angka timbangan turun menjadi 24,47 Kg. Dia pun memberi kode setuju. Langsung aku ucapkan terima kasih sambil memberi senyuman termanis yang kupunya.
Setelah menunggu beberapa saat, kami pun masuk ke pesawat. Seketika berubahlah pemandangan, dari hindung mancung menjadi pesek, dari kulit putih ke sawo matang, dari raut muka kaku menjadi senyum bersahabat ala Pak Cik – Mak Cik tanah semenanjung. Pesawat pun berangsur-angsur meninggalkan Bandara Atatürk Istanbul. Beberapa saat kemudian para pramugari sibuk menyajikan makanan untuk penumpang. Tidak jelas makan untuk apa pada pukul 13.55 itu, apakah makan malam atau sarapan. “Do you want bread or rice?” (kamu mau roti atau nasi) tanya seorang pramugari. Kujawab, “pilav istiyorum” (saya mau nasi). “Hm...Türkçe biliyorsun, İçecek ne?” (Hm...kamu tahu bahasa Turki, Mau minum apa?), tanyanya lagi sambil tersenyum senang. Kujawab, “Su ve şeftalı suyu istiyorum” (Saya mau air putih dan jus aprikot). “Teşekkür ederim” (terima kasih), kataku. “Rica ederim”, jawabnya.
Sengaja aku menggunakan bahasa Turki, karena aku tahu semua pramugari di Turkish Airlines adalah orang Turki. Pengalaman pulang liburan pada tahun sebelumnya, jatah makananku ditambah hanya karena aku bisa berbahasa Turki. Tapi kali ini aku kurang beruntung, hanya porsi senyuman saja yang mereka tambah.
Setelah makan, mataku mulai terasa berat. Film Ice Age 4 yang kuputar di layar depan kursiku tak mampu menahan rasa kantuk. Perlahan tapi pasti, aku mulai hilang kesadaran dan masuk ke alam mimpi. Sampai bertemu di Kuala Lumpur.